Sabtu, 04 Oktober 2014

Patofisiologi Malaria

Parasit Plasmodium yang berkembang biak dengan cara memisahkan tubuh dapat berkembang biak di dalam sistem hati manusia dengan sangat cepat menjadi ribuan hanya dalam beberapa menit setelah parasit ini disuntikan oleh nyamuk Anopheles betina yang sedang makan.

Terdapat dua tahap perkembangan penyakit malaria, yaitu tahap exoerthrocitic dan tahap erithrocitic. Tahap exoeriyhrocitic adalah tahap dimana terjadinya infeksi pada sistem hati (liver) manusia yang disebabkan oleh parasit plasmodium, sedangkan tahap erithrocitic adalah tahap terjadinya infeksi pada sel darah merah (eritrosit).

Setelah masuk melalui darah dan sampai di sistem hati manusia, parasit ini akan berkembang biak dengan cepat yang kemudian keluar dan menginfeksi sel darah merah, yang mana proses inilah yang menimbulkan timbulnya demam pada penderita malaria. Selanjutnya adalah parasit plasmodium akan terus berkembang biak dalam sel darah merah yang kemudian keluar untuk menginfeksi sel darah merah lain yang masih sehat, hal inilah yang menyebabkan terjadinya gejala panas atau demam naik turun pada penderita malaria.

Walaupun sebenarnya sistem limpa manusia bisa menghancurkan sel darah merah yang terinfeksi oleh parasit, tetapi parasit plasmodium jenis falciparum dapat membuat sel darah merah menempel pada pembuluh darah kecil dengan cara melepaskan protein adhesif, sehingga dengan begini sel darah merah yang terinfeksi tidak dapat masuk kedalam sistem limpa untuk dihancurkan. Dengan kemampuan inilah plasmodium falciparum sering menjadi penyakit malaria akut, karena dengan kemampuan menempelkan sel darah merah yang telah terinfeksi di dinding pembuluh darah kecil secara simultan sehingga dapat menyumbat peredaran darah ke otak yang sering mengakibatkan kondisi koma pada penderita penyakit malaria (lihat gambar di atas).

Lain halnya dengan sebagian parasit plasmodium jenis vivax atau ovale tidak mempunyai kecenderungan yang mematikan seperti plasmdium falciparum tetapi dengan kemampuan menghasilkan hipnosoites yang tetap aktif selama beberapa bulan bahkan tahun, sehingga penderita penyakit malaria yang disebabkan plasmodium ini sering mengalami malaria yang baru kambuh dan kambuh lagi selama beberapa bulan bahkan tahun setelah terinfeksi pertama kali, dan sangat sulit dibasmi secara tuntas dari dalam tubuh manusia terinfeksi.

Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Penghancuran eritrosit.

Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.

b. Mediator endotoksin-makrofag.

Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.

c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi.

Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar